Namanya Drupadi

By pitzputz

14 April 2011

Tag: ,

Category: agak serius

11 Comments »

Siapakah yang mendengar suara Drupadi ketika ia diseret pada rambutnya yang panjang ke tengah meja perjudian itu? Semua. Semua mendengar. Tapi tak ada yang menolongnya.

Yudhistira, suaminya, yang telah kalah dalam pertaruhan, membisu. Juga Arjuna. Juga Nakula dan Sadewa. Hanya Bima yang menggeratakkan gerahamnya dalam rasa marah yang tertahan, hanya Bima yang berbisik, bahwa Yudhistira telah berbuat berlebihan, karena bahkan pelacur pun tak dipertaruhkan dalam pertandingan dadu. ”Ketika kau jadikan kami, adik-adikmu, barang taruhan, aku diam, karena kau, kakak sulung, adalah tetua kami. Kami bahkan rela jadi budak ketika kau kalah. Ketika kau jadikan dirimu sendiri barang pembayaran, kami juga diam, karena kau sendirilah yang menanggungnya. Tapi apa hakmu mengorbankan Drupadi di tempat ini? Apa hakmu, Kakakku?”

Yudhistira membisu. Semua hanya menyimak, juga para pangeran di arena itu, juga Baginda Destarastra yang dalam gelap matanya yang buta toh pasti mendengar, dan menyaksikan, malapetaka yang tengah terjadi: para Pandawa telah menerima tantangan berjudi para Kurawa, dan Yudhistira yang lurus hati itu dengan mudah kalah, oleh Sangkuni yang pintar, sampai milik penghabisan. Harta telah ludes. Kerajaan telah terambil. Adik-adiknya telah tersita. Juga dirinya sendiri, yang kini duduk bukan lagi sebagai orang merdeka. Lalu Drupadi, putri dari Kerajaan Pancala yang terhormat itu….

Bersalah apakah wanita ini, kecuali bahwa ia kebetulan dipersunting putra Pandu? Dursasana, yang matanya memerah saga oleh mabuk, oleh kemenangan dan berahi, menyeretnya pada rambut. ”Budak!” seru bangsawan Kurawa itu seraya mencoba merenggutkan kain Drupadi. ”Hayo, layani aku, budak!” Suara tertawa kasar dan aneh karena gugup terdengar di antara hadirin. Sangkuni tertawa. Duryudana tertawa. Karna tertawa.

Bima, mendidih sampai ke ruas jantungnya, gemetar, mencoba menahan katup amarah, menyaksikan adegan kemenangan dan penghinaan itu. Api seperti memercik dari wajahnya, dan tinjunya yang kukuh mengencang di ujung lengan, tapi Arjuna menahannya. ”Apa boleh buat, Bima,” kata kesatria tengah Pandawa ini, ”merekalah yang menang, mereka tak menipu, dan Yudhistira tahu itu, perjudian ini juga sejak mula tak ditolaknya.”

”Baiklah, baiklah,” sahut Bima. ”Jangan tegur aku lagi. Tapi dengarlah sumpahku” (dan ia tiba-tiba berdiri, mengeraskan suaranya hingga terdengar ke segala penjuru). ”Hai, kalian, dengarlah sumpahku: kelak, dalam perang yang menentukan antara kita di sini, akan kurobek dada Dursasana dengan kuku-kuku tanganku” (dan suara Bima terdengar seperti raung, muram, menggeletar), ”lalu akan kuminum darahnya, kuminum!”

Balairung seolah baru mendengarkan petir menggugur. Beberapa bangsawan Kurawa mendeham mengejek bukankah ancaman Bima itu omong kosong, karena ia secara sah telah jadi budak tapi sebagian tiba-tiba merasa ngeri: rasanya memang sesuatu yang tak pantas telah terjadi di tempat terhormat ini.

Tapi, siapakah yang akan menolong Drupadi?

Sekali lagi, Dursasana mencoba menanggalkan kain dari tubuh istri Yudhistira itu. Kain terlepas…. Tapi entah mengapa, laki-laki perkasa itu tak kunjung berhasil menelanjangi wanita yang bingung dan pasrah itu. Mungkin ada keajaiban dari langit, mungkin Dursasana terlalu meradang oleh nafsu, mungkin anggur telah memuncak maraknya di kepala: di depannya, ia seakan-akan menghadapi berlapis-lapis kain yang menjaga kulit yang lembut itu. Tiap kali selembar terenggut oleh tangannya yang gemetar, tiap kali pinggul Drupadi seolah tertutup kembali. Dan Dursasana, pada klimaksnya, terkapar.

Ruangan agung itu seolah-olah melepas napas: memang ada sesuatu yang melegakan ketika adegan yang menekan saraf itu berakhir begitu hambar. Tapi tidak: persoalan Drupadi belum selesai. Dan kini wanita itu datang, dengan sanggul yang terlepas, setengah merangkak, ke hadapan para bangsawan tua yang selama ini menyaksikan semuanya dengan mata sedih tapi mulut tertutup.

”Paduka, berhakkah Yudhistira mempertaruhkan diri hamba, berhakkah dia merasa memiliki diri hamba, ketika ia tidak memiliki lagi diri dan kemerdekaannya?”

Kali ini Resi Bhisma yang termasyhur arif dan ikhlas itu menjawab, ”Aku tak tahu, Anakku. Jalan darma sangat subtil. Mana yang benar, mana yang tidak, bahkan orang yang paling bijaksana pun kadang-kadang hanya menduga. Cobalah kau tanya Yudhistira sendiri.”

Tapi tak ada ucapan yang terdengar. Hanya, saat itu, di luar menggores jerit burung, dan suara anjing menyalak, dan langit malam seperti retak. Agaknya sesuatu, yang bukan termasuk dalam ruang judi para raja itu, yang bisa menjawab: tak seorang pun dapat memiliki orang lain, juga dalam kemenangannya yang sah. Berlapis-lapis batas tetap memisahkan antara Drupadi dan penaklukan, antara hamba dan tuan.

Seketika itu juga Drupadi bersumpah takkan bersanggul, sebelum berlangir dan berseka kulit dengan darah Dursasana.

***

Kali ini saia mendongeng saja, secara sodara ersiwi yang ngomen di postingan saia kapan hari menyoal tentang lelakon Mahabarata hingga membuat saia mati gaya. Ya, saia malu sejadi-jadinya, saia sama sekali ga tahu menahu tentang cerita pewayangan. Sampai-sampai semalaman suntuk ngubek2 si eyang google untuk berguru. Duh terima kasih banyak Suhu, akhirnya saia dapat pencerahan *tsaaah*.

11 Responses to “Namanya Drupadi”

  1. kisah mahabrata memng penuh dengan pelajaran hidup..hee 😀

  2. haaa… waktu ada filmnya di TPI, aku ingat neh kejadiannya. Yg menolong drupadi itu Krishna, dia kan jelmaan dewa. Drupadi berputar2 wkt sarinya mau dibuka terus berputar tp sarinya tetap tidak terbuka. Di lantai udah menumpuk sari yg panjaaaaanngggggg banget.
    sip..sip.. 🙂

    • eh Za masi inget juga rupanya ya? wah itu sari belinya dimana ya, kok ada gitu yang puaanjaaang mpe puluhan meter *pletakkk…dikemplang pake meteran* 😛

      eniwey thanks udah mampir 🙂

  3. Nice blog too.. Cerita yg selalu menarik 😀 salam kenal & follow 😀

  4. tak biasanya Kyai Semar menahan tangis. dua bola matanya mengembang bening, agak basah. Dewi Kunthi yang kesrakat jiwanya karena tingkah Yudhistira mebuka kata ;
    Kunthi : ” kenapa Kyai tak menghentikan Yudhistira ?”.
    Semar : ” Putramu sedang senang sewenang wenang sambil tidak menyadari bahwa dia berkuasa atas nasib brayat darah barata”. Dia hanya akan mendengarkan pada siapa yang bisa membuat hatinya senang. Dan membuat penguasa senang adalah bukan urusan hamba sang Dewi. ”.
    K : ” Bukankah Kyai penasehat senior ? aku yakin Yudhistira akan mendengarkanmu kakang Semar….”.
    S : ” Kali ini sepertinya tidak Sang Dewi, bibir tua ini capek menasehati putra pembarepmu tanpa didengarkannya…”
    K : ” nasehati terus Kyai, tak usah risaukan tentang tidak didengarkan”.
    S : ” hamba tak bisa untuk tidak merisaukannya. putra tertuamu sedang suka menindas dengan hak berlebihan yang digenggamnya. juga kata katanya sering tajam, pedas dan pedih tak terkira…hamba tidak mau sakit hati lagi…..”.
    K : ” Bukankah tugasmu harus setia kamu jalankan betapapun Rajamu tidak mendengarkan ?.
    S : ” hamba sudah mengingatkannya satu kali…dan itu harusnya cukup karena nurani dan nalar seorang Raja harus cerdas danbijak….tapi Yudhistira sepertinya juga sedang menumpuk dosa. Meskipun hamba hanya orang kecil, namun hamba juga punya mimpi dan berharap kehidupan sempurna baik di alam fana ini ataupun sesudah hamba mati ”. hamba takut terus menghamba pada putramu sementara dia sedang menanam karma yg menggiriskan hati….”.

    ” Pitz, telah kubaca sampai habis spt janjiku…aku jadi ingat gaya menulis Mas Goen (Goenawan Muhamad, Pemred TEMPO) yang Catatan Pinggirnya adalah salah satu Guru Rohaniku …..”.

  5. Aku dah lupa bener kisah pewayangan mahabarata…
    dulu aku sampe punya bukunya tapi sekarang entah dimana

  6. Salam kenal, salut untuk generasi yang masih menyukai dunia wayang.

Tinggalkan Balasan ke Amy Batalkan balasan